Istidraj
adalah kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang
durhaka sebagai ujian atau hukuman yang berangsur-angsur. Istidraj akan
menjadikan seseorang lalai, sombong, dan terlena dengan dunia dan ini sangat
berbahaya bagi iman dan akhirat seseorang.
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah
menceritakan kepada kami Rasyidin (yakni Ibnu Said alias Abul
Hajjaj Al- Muhri), dari Harmalah ibnu Imran At- Tajibi, dari
Uqbah ibnu Muslim, dari Uqbah ibnu Amir, dari Nabiﷺ yang telah bersabda:
اِذَا رَاَيْتَ اللّٰهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ
الدُّنْيَا عَلٰى مَعَاصِيْهِ مَا يُحِبُّ فَاِنَّمَا هُوَ
اسْتِدْرَاج
“Apabila kamu lihat Allah
memberikan kesenangan duniawi kepada seorang hamba
yang gemar berbuat maksiat terhadap- Nya sesuka hatinya,
maka sesungguhnya hal itu adalah
istidraj” (membinasakannya secara perlahan- lahan).
Kemudian Rasulullahﷺ membacakan firman Allah
QS. Al An’am ayat 44
فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟
أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka, tatkala
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.”
Dalam Tafsir
Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan
yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah
buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka.
Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa
mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”
Syaikh
As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan
Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan
kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang
diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka
pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya.
Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu
sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir
As-Sa’di, hlm. 260).
Surat Al-A’raf
Ayat 95
ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ ٱلسَّيِّئَةِ ٱلْحَسَنَةَ
حَتَّىٰ عَفَوا۟ وَّقَالُوا۟ قَدْ مَسَّ ءَابَآءَنَا ٱلضَّرَّآءُ وَٱلسَّرَّآءُ
فَأَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan
hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata:
"Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah merasai penderitaan dan
kesenangan", maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan
sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.
Tafsir :
Allah mencoba
mereka dengan kesengsaraan agar mereka mau tunduk merendahkan diri kepada
Allah, tetapi mereka tidak melakukan sesuatu pun yang dituntutkan kepada
mereka. Setelah itu keadaan mereka dibalik hingga menjadi makmur, hal ini
merupakan cobaan pula bagi mereka. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya
ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ ٱلسَّيِّئَةِ ٱلْحَسَنَةَ
Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan
Maksudnya,
Kami ubah keadaan mereka dari keadaan semula, dari sengsara menjadi senang,
dari sakit menjadi sehat dan dari miskin menjadi kaya, agar mereka bersyukur.
Tetapi ternyata mereka tidak melakukannya.
Orang mukmin
ialah orang yang mengerti tentang ujian Allah yang sedang ditimpakan kepadanya,
baik ujian itu berupa kesengsaraan maupun berupa kesenangan. Karena itulah di
dalam sebuah hadis disebutkan :
“Penyakit
masih terus menerus akan menimpa orang mukmin sehingga ia keluar dalam keadaan
bersih dari dosa-dosanya. Sedangkan orang munafik perumpamaannya sama dengan
keledai, ia tidak mengerti mengapa pemiliknya mengikatnya dan mengapa
melepaskannya.”
Salah satu tanda istidraj adalah mendapatkan kenikmatan yang berlimpah baik itu berupa harta yang banyak ataupun kebahagiaan padahal ia sendiri jarang melakukan ibadah. Ketika seseorang merasa kualitas ibadahnya turun namun kenikmatannya terus meningkat, hal itu jelas merupakan ciri-ciri sebuah Istidraj.
Kenikmatan
yang diberikan oleh Allah SWT bukan berupa kasih sayang, melainkan murka-Nya.
Orang yang jauh dari ibadah dan agama kemungkinan besar tidak akan menyadari
murka Allah yang tengah diterimanya dalam bentuk kenikmatan.
Ibnu
Mas’ud radhiallahu’anhu menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan,
“Sesungguhnya keadaan seorang mukmin ketika melihat dosa-dosanya, sebagaimana
keadaan dia ketika duduk di bawah suatu gunung. Dia khawatir gunung itu akan
runtuh menimpanya. Sedangkan orang yang fajir melihat dosa-dosanya bagaikan
lalat yang melewati hidungnya. Dia mengusirnya begitu saja”.
Al-Hasan
Al-Bashri berkata, “Seorang yang beriman melaksanakan ketaatan-ketaatan dalam
keadaan takut dan khawatir. Sedangkan orang yang fajir melakukan
maksiat-maksiat dengan perasaan aman”
Semoga kita selalu terlindungi dari istidraj yang merupakan murka Allah dalam bentuk kenikmatan dengan selalu berpedoman pada Al Qur’an dan ajaran Rasulullah SAW.